Hukuman
Mati untuk TKW
By : Suherman Sinaga
Tokoh-tokoh
Aminah
Aisah
Ahmad
Afifah
Habib
Julaika
2
algojo
Malam itu di rumah sederhana
berdinding papan yang sudah terlihat rapuh. Malam itu adalah malam terakhir
bagi Aminah, Ahmad (suami) dan Aisah (anaknya) untuk menikmati kehangatan
bersama. Karena, esok Aminah akan pergi ke Negeri orang untuk menjadi TKW. Rasa sedih menyelimuti hati mereka. Rasa tak
iklas meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil itu. Namun keadaan harus
paksakan Aminah relakan semuanya Ia harus tinggalkan semua kehangatan,
keceriaan dan kebersamaan keluarga kecil mereka. Hujan rintik-rintik di malam
itu menambah suasana haru biru di ruang kecil rumah sederhana mereka.
Aisah : (duduk di pangkuan Ayahnya, menangis)
Ayah, ibu jahat ia
akan tinggali Aisah dan Ayah di sini sendiri.
Ahmad : (meyakinkan anaknya, mengelus kepala
Aisah) sayang, jangan
bicara seperti itu ya nak! Ibu enggak jahat.
Dia akan berjuang
untuk kita nak! Untuk kehidupan keluarga
kita, Aisah dengar
ayah, Aisah mau sekolah kan?
Aisah : sekolah??? Asyik...!!! Aisah mau
sekolah Yah, biar jadi
orang pinter. (lari memeluk ibunya yang
berdiri di dekat
jendela) ibu janji ya mau sekolahkan Aisah,
dan ibu janji
kalau
jauh dari kami jangan pernah lupakan Aisah dan Ayah.
Aminah : (menahan airmata) iya sayang! Ibu janji,
bukan hanya untuk
adek sekolah. Tapi, rumah ini akan ibu buat
jadi istana dan
sawah yang tergadai itu akan kita miliki
lagi.
Ahmad : (mendekat pada Aminah dan Aisah) minah
ma’afkan aku,
tidak menjadi kepala keluarga yang baik untuk
kalian. Aku
tidak berguna!
Aminah : mas, jangan bicara seperti itu, aku
iklas mas. Ini aku lakukan
untuk kebaikan kita semua mas, jangan
berpikiran yang
macam-macam. Do’akan saja aku sanggup
menjalani nya.
Waktu
berlalu...
Larutnya
malam menjadi saksi kebahagiaan keluarga kecil itu yang harus terenggut oleh keadaan yang memaksa,
malam telah menelan sebuah kisah dan pagi berikan cerita baru untuk mereka.
Pagi punya sebuah mentari yang indah namun sinar itu tak menghangatkan hati
Aminah, suami dan anaknya. Mereka bersedih harus terpisah oleh ruang dan waktu
yang tak tahu sampai kapan dapat merasakan kehangatan bersama lagi. Hati Aminah
beku, bibirnya kelu dan sekujur tubuhnya serasa kaku memandang keluarga kecil
yang akan ditinggalkannya itu. Namun, tekad Aminah sudah bulat, dia rela
meninggalkan keluarga kecilnya demi kehidupan yang lebih baik walau itu masih
di angan-angan. Namun, niatnya tulus pergi menjadi TKW untuk merubah keadaan
keluarga kecilnya itu. Sekejab mata Aminah sudah berada di negeri tempat
seluruh umat muslim menyempurnakan keislamannya. Berjuta rasa terlintas di
benak Aminah saat menginjakkan kaki di rumah majikannya. Hanya dengan
mengenakan pakaian seadanya, sendal jepit yang menjadi alas kakinya dan
menggendong tas pakaiannya. Seolah tak dapat melangkah rasa kagum yang luar
biasa melihat rumah majikan yang begitu besar hanya di huni oleh sepasang suami
istri yaitu Habib dan Afifah, Aminah berpikir kalau rumah ini ada di kampungnya
maka orang sekampung akan cukup tinggal di dalam rumah ini. Aminah hanya
berdiri diam tanpa kata di ruang tamu yang begitu besar.
Afifah : (tanpa kata-kata mendatangi Aminah,
membawa alat pel
lantai dan melemparkan kepada Aminah)
Aminah : (sudah tau maksud majikan ia pun
langsung mengerjakan
tugasnya ) ya Allah mudah-mudahan ini bukan
awal yang
buruk.
Habib : (melintas di depannya dan melemparkan
senyum dingin
kepada Aminah)
Aminah : (ia pun membalas senyuman majikannya
itu)
assalamu’alaikum tuan!
Habib : (hanya mengangguk)
Aminah iklas mejalani
pekerjaannya walau dirasanya sangat berat ia harus mengerjakan semua pekerjaan
rumah tangga sendiri. Dengan kebiasaannya menjadi ibu rumah tangga yang selalu mengabdikan
hidupnya untuk suami dan anaknya aminah sudah terbiasa namun ini terasa berat
karena rumah yang begitu besar ia harus bekerja ekstra. Namun, untuk urusan
masak-memasak tidak diragukan lagi ia sudah sangat mahir. Habib sangat menyukai
masakan Aminah hal ini menjadikan Afifah cemburu terhadap Aminah dan sering
berlaku tidak baik terhadapnya. Dan kecemburuannya itu memang benar adanya
ternyata Habib menaruh birahi terhadap pembantunya.
Aminah : (duduk di atas sajadah berdzikir dan
berdo’a) ya Allah,
kuatkan hati hamba menjalani semua ini.
Sebenarnya hamba
tidak tega meninggalkan suami hamba dan si
kecil Aisah.
Ya Allah, ini hamba lakukan demi kebaikan
keluarga kecil
kami. Hamba berkeinginan Aisah anakku dapat
bersekolah
agar menjadi orang yang berguna bagi bangsa
dan agama-Mu
ya tuhan ku.
Habib : (datang dari belakang dan mendekap
mulut Aminah) tenang,
jangan berteriak. Aku tidak akan menyakiti
kamu.
Aminah : (meronta dan berusaha sekuat tenaga
melepaskan diri) tuan!
Apa yang tuan lakukan? Perbuatan tuan ini
melanggar ajaran
agama kita tuan. Sadar, sadar tuan! Allah
akan murka.
Habib : (tak mengerti apa yang di ucapkan
Aminah, dia mendekap
erat Aminah hingga tak berdaya) ayolah! Tidak
akan ada yang
tahu. Cuma kita berdua di sini.
Sebisanya aminah melawan namun,
tenaga tak cukup kuat untuk melawan majikannya yang berbadan besar itu. Selesai
memenuhi nafsu bejatnya sang majikanpun pergi dan melemparkan uang Real ke
wajah Aminah. Itu sebagai tanda agar Aminah tidak menceritakan kejadian ini
pada siapa-siapa terutama pada istrinya.
Aminah : (menangis) ya Tuhan! Apa salah hamba?
Ketaatan hamba, apa
masih kurang ya Allah??? Begitu berat cobaan
ini ya Allah!
Hamba telah gagal menjaga kehormatan hamba,
hamba tak
berdaya ya Tuhan ku. Ampuni hamba ya Allah.
Kejadin
itu terus berulang-ulang terjadi, setiap kali selesai melakuan perbuatan
bejatnya Habib selalu memberi uang Real kepada Aminah. Sudah banyak uang Real
yang terkumpul di kamarnya melebihi gaji selama setahun. Sementara itu, sudah
tiga bulan ia bekerja belum juga menerima gaji hasil dari kerjanya, untuk di
kirimkan ke kampung. Suatu pagi Aminah di rumah sendiri ia telah menyelasaikan
semua tugasnya. Dan ia pun mengerjakan shalat dhuha di kamarnya.
Aminah : (duduk di atas sajadah berdzikir dan
berdo’a) ya Allah,
kuatkan hati hamba menjalani semua ini. Ini semua
hamba
lakukan untuk kelurga kecil hamba, suami dan
si kecil Aisah.
Walau hamba tak tega meninggalkan mereka tapi
ini untuk
kebaikan kami (Aminah mengambil uang yang di
berikan oleh
majikannya itu) apa uang ini yang harus aku
kirimkan ke
kampung untuk suami dan anakku? Tidak! Tidak!
Tidak!
(berteriak dan merobek uang-uang itu).
Habib : (masuk tanpa permisi dan langsung
mendekap Aminah dari
belakang) tenang tidak ada siapa-siapa di
sini. Kamu harus
melayani saya!
Aminah : (teriak dan meronta, ia berlari mengambil
gunting yang ada di
atas meja dan menodongkan gunting itu) jangan
mendekat
tuan! Saya bukan budak yang dapat tuan
perlakukan
seenaknya.
Habib : (tidak mengerti dan tidak
memperdulikan apa yang di
ucapkan aminah, mendekap aminah)
Aminah : (menusukkan gunting ke perut majikannya
sambil mengucap
asmah Allah) Allahu Akbar!
Habib : (tubuhnya terjatuh ke lantai).
Aminah : (gugup dan menangis melihat majikannya
sudah tak
bernyawa) ya Allah, apa yang telah hamba
lakukan??? Tidak!
Tidak! Tidak!
Afifah : (terkejut melihat suaminya tergeletak
tak bernyawa, tanpa
basa-basi ia langsung menyiksa Aminah).
Aminah : ampun Umi, saya tidak bersalah. Saya
hanya membela diri
tuan
ingin memperkosa saya. Ini telah ia lakuakn untuk kesekian kalinya umi. Saya
tiadak sanggup terus-terusan diperlakukan seperti itu Umi.. ampun Umi! Saya tidak
bersalah.
Afifah : (sangat marah dan terus memukuli
Aminah) pembunuh! Kau
telah membunuh suamiku. Ini pantas untuk mu!
Aminah : (memohon) tidak Umi, saya berbicara
benar. Saya hanya
membela diri.
Afifah : (terus memukuli Aminah)
Aminah
di jebloskan ke penjara...
Sesuai dengan hukum yang berlaku
di Arab nyawa di bayar nyawa. Dengan segala upaya dan daya Aminah menjelaskan
semua yang sebenarnya terjadi. Namun apalah daya seorang yang tidak punya
wewenag dan uang untuk membayar pengacara sebagai pembela atas kasusnya. Ia
juga tidak mengerti bahasa Arab sehingga apa yang ia katakan di pengadilan
tidak seorangpun yang paham akhirnya hukuman mati di jatuhkan untuk nya. Ia
mendekam di penjara menanti ajalnya, ia akan di hukum mati. Algojo telah siap
untuk memenggal lehernya memeisahkan kepala dari badannya. Namun Aminah tidak
patah semangat ia tetap berharap pertolongan Tuhan untuk menyelamatkan agar ia
dapat berkumpul lagi dengan keluarga kecilnya yakni suami dan si kecil Aisah.
Aminah : (duduk di sudut ruang jeruji besi sambil
berdzikir)
Terdengar
suara pintu terbuka, berdiri seorang wanita di pintu itu.
Aminah : (perlahan mengangkat kepala melihat ke
arah pintu dan
menundukkannya kembali) aku tahu kedatangan
kamu ingin
menyalahkan saya juga kan? Tak ada yang
percaya, semua
mengira saya berbohong. Saya berkata jujur!
Saya hanya
membela diri. Kenapa tidak ada yang percaya
dengan orang
miskin? Orang-orang lebih percaya dengan
orang yang
mempunyai kedudukan dan punya uang. Kenapa?
Kenapa?
Julaika : (mendekati Aminah) tenang Aminah,
tenang! saya Julaika.
Saya Wartawan indonesia yang kebetulan
bertugas di sini.
Aminah : (mengangkat kepalanya) dari mana kamu
tau nama saya?
Julaika : saya melihat persidangan kamu, ma’af
Aminah ini di negeri
orang saya tidak bisa membantu banyak
teralalu sulit
urusannya. Tapi kamu tenang saja Aminah. Saya
akan
kabarkan ini pada keluargamu dan pemerintah
indonesia. Ya,
walaupun nyawamu tidak terselamatkan tapi
setidaknya
pemerintah Indonesia sadar bahwa banyak
pahlawan devisa
yang butuhperhatian dan hukum di negeri orang ini.
Aminah : (senang) benarkah Julaika? Hanya satu
permintaanku, Tolong
sampaikan ma’af untuk suamiku, aku tak
menjaga
kehormatan yangtelah di percayainya. Lelaki
bejat itu telah
telah menghancurkan semua harapan kami. Dan tolong
sampaikan kepada si kecil anakkuAisah, aku
sangat sayang
padanya. Dia harus bersekolah, jangan sampai
dia menjadi
TKW seperti ku. Dia harus menjadi anak yang pintar.
Julaika : (memeluk Aminah dan menangis) ya... ya
Aminah! Saya akan
katakan itu semua. Saya akan ceritakan apa
yang sebenranya
terjadi pada semua orang. Allah akan berikan
tempat tertinggi
untuk mu Aminah, yakinlah walau di dunia ini
kalian terpisah
oleh ruang dan waktu Allah telah sediakan
tempat untuk
kalian kelak.
Algojo datang dan menarik paksa
Aminah, waktunya telah tiba aminah akan dieksekusi mati. Ia harus relakan
ajalnya tuhan telah menakdirkan kematiannya dengan keadaan yang menyedihkan
jauh dari keluarga dan kepala nya harus terpisah dari tubuhnya.
Aminah : buktikan pada dunia julaika! Bahwa aku
tidak bersalah, aku
puas telah membunuh pemerkosa itu. Aku iklas
menerima
takdir ini.Dan aku percaya Allah akan berikan
yang lebih baik
dari kehidupan dunia ini. Sampaikan salam dan
ma’af ku
untuk keluaraga kecilku suami dan anakku sampaikan pada
mereka aku sangat mencintai mereka.
Akhirnya, Aminah pun dieksekusi
mati. Kepalanya dipenggal, tak terwujud impian pahlawan devisa ini untuk
membangun rumahnya menjadi istana, menyekolahkan anaknya dan menebus sawah yang
telah tergadai semua harapannya telah sirna. Tapi setidaknya Aminah telah
mebuka mata dunia betapa pentingnya perlindungan untuk para TKW yang bekerja di
Negeri orang. Aminah telah menjalani takdirnya dalam sebuah kepedihan dan
semoga ia mendapat tempat yang layak di akhirat dengan ketulasan dan keiklasan
yang dimilikinya.
Sekian