Senin, 28 Mei 2012

cerpen "hukuman mati untuk TKW"


Hukuman Mati untuk TKW
By : Suherman Sinaga

Tokoh-tokoh
Aminah
Aisah
Ahmad
Afifah
Habib
Julaika
2 algojo


Malam itu di rumah sederhana berdinding papan yang sudah terlihat rapuh. Malam itu adalah malam terakhir bagi Aminah, Ahmad (suami) dan Aisah (anaknya) untuk menikmati kehangatan bersama. Karena, esok Aminah akan pergi ke Negeri orang untuk menjadi TKW.  Rasa sedih menyelimuti hati mereka. Rasa tak iklas meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil itu. Namun keadaan harus paksakan Aminah relakan semuanya Ia harus tinggalkan semua kehangatan, keceriaan dan kebersamaan keluarga kecil mereka. Hujan rintik-rintik di malam itu menambah suasana haru biru di ruang kecil rumah sederhana mereka.

Aisah          : (duduk di pangkuan Ayahnya, menangis) Ayah, ibu jahat ia
  akan tinggali Aisah dan Ayah di sini sendiri.
Ahmad        : (meyakinkan anaknya, mengelus kepala Aisah) sayang, jangan
  bicara seperti itu ya nak! Ibu enggak jahat. Dia akan berjuang
  untuk kita nak! Untuk kehidupan keluarga kita, Aisah dengar
  ayah, Aisah mau sekolah kan?
Aisah          : sekolah??? Asyik...!!! Aisah mau sekolah Yah, biar jadi
  orang pinter. (lari memeluk ibunya yang berdiri di dekat
  jendela) ibu janji ya mau sekolahkan Aisah, dan ibu janji
  kalau  jauh dari kami jangan pernah lupakan Aisah dan Ayah.
Aminah       : (menahan airmata) iya sayang! Ibu janji, bukan hanya untuk
  adek sekolah. Tapi, rumah ini akan ibu buat jadi istana dan
  sawah yang tergadai itu akan kita miliki lagi.
Ahmad        : (mendekat pada Aminah dan Aisah) minah ma’afkan aku,
  tidak menjadi kepala keluarga yang baik untuk kalian. Aku
  tidak berguna!
Aminah       : mas, jangan bicara seperti itu, aku iklas mas. Ini aku lakukan
  untuk kebaikan kita semua mas, jangan berpikiran yang
  macam-macam. Do’akan saja aku sanggup menjalani nya.


Waktu berlalu...
Larutnya malam menjadi saksi kebahagiaan keluarga kecil itu yang  harus terenggut oleh keadaan yang memaksa, malam telah menelan sebuah kisah dan pagi berikan cerita baru untuk mereka. Pagi punya sebuah mentari yang indah namun sinar itu tak menghangatkan hati Aminah, suami dan anaknya. Mereka bersedih harus terpisah oleh ruang dan waktu yang tak tahu sampai kapan dapat merasakan kehangatan bersama lagi. Hati Aminah beku, bibirnya kelu dan sekujur tubuhnya serasa kaku memandang keluarga kecil yang akan ditinggalkannya itu. Namun, tekad Aminah sudah bulat, dia rela meninggalkan keluarga kecilnya demi kehidupan yang lebih baik walau itu masih di angan-angan. Namun, niatnya tulus pergi menjadi TKW untuk merubah keadaan keluarga kecilnya itu. Sekejab mata Aminah sudah berada di negeri tempat seluruh umat muslim menyempurnakan keislamannya. Berjuta rasa terlintas di benak Aminah saat menginjakkan kaki di rumah majikannya. Hanya dengan mengenakan pakaian seadanya, sendal jepit yang menjadi alas kakinya dan menggendong tas pakaiannya. Seolah tak dapat melangkah rasa kagum yang luar biasa melihat rumah majikan yang begitu besar hanya di huni oleh sepasang suami istri yaitu Habib dan Afifah, Aminah berpikir kalau rumah ini ada di kampungnya maka orang sekampung akan cukup tinggal di dalam rumah ini. Aminah hanya berdiri diam tanpa kata di ruang tamu yang begitu besar.

Afifah          : (tanpa kata-kata mendatangi Aminah, membawa alat pel
  lantai dan melemparkan kepada Aminah)
Aminah       : (sudah tau maksud majikan ia pun langsung mengerjakan
  tugasnya ) ya Allah mudah-mudahan ini bukan awal yang
  buruk.
Habib          : (melintas di depannya dan melemparkan senyum dingin
  kepada Aminah)
Aminah       : (ia pun membalas senyuman majikannya itu)
  assalamu’alaikum tuan!
Habib          : (hanya mengangguk)

Aminah iklas mejalani pekerjaannya walau dirasanya sangat berat ia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendiri. Dengan kebiasaannya menjadi ibu rumah tangga yang selalu mengabdikan hidupnya untuk suami dan anaknya aminah sudah terbiasa namun ini terasa berat karena rumah yang begitu besar ia harus bekerja ekstra. Namun, untuk urusan masak-memasak tidak diragukan lagi ia sudah sangat mahir. Habib sangat menyukai masakan Aminah hal ini menjadikan Afifah cemburu terhadap Aminah dan sering berlaku tidak baik terhadapnya. Dan kecemburuannya itu memang benar adanya ternyata Habib menaruh birahi terhadap pembantunya.

Aminah       : (duduk di atas sajadah berdzikir dan berdo’a) ya Allah,
  kuatkan hati hamba menjalani semua ini. Sebenarnya hamba
  tidak tega meninggalkan suami hamba dan si kecil Aisah.
  Ya Allah, ini hamba lakukan demi kebaikan keluarga kecil
  kami. Hamba berkeinginan Aisah anakku dapat bersekolah
  agar menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama-Mu
  ya tuhan ku.
Habib          : (datang dari belakang dan mendekap mulut Aminah) tenang,
  jangan berteriak. Aku tidak akan menyakiti kamu.
Aminah       : (meronta dan berusaha sekuat tenaga melepaskan diri) tuan!
  Apa yang tuan lakukan? Perbuatan tuan ini melanggar ajaran
  agama kita tuan. Sadar, sadar tuan! Allah akan murka.
Habib          : (tak mengerti apa yang di ucapkan Aminah, dia mendekap
  erat Aminah hingga tak berdaya) ayolah! Tidak akan ada yang
  tahu. Cuma kita berdua di sini.

Sebisanya aminah melawan namun, tenaga tak cukup kuat untuk melawan majikannya yang berbadan besar itu. Selesai memenuhi nafsu bejatnya sang majikanpun pergi dan melemparkan uang Real ke wajah Aminah. Itu sebagai tanda agar Aminah tidak menceritakan kejadian ini pada siapa-siapa terutama pada istrinya.

Aminah       : (menangis) ya Tuhan! Apa salah hamba? Ketaatan hamba, apa
  masih kurang ya Allah??? Begitu berat cobaan ini ya Allah!
  Hamba telah gagal menjaga kehormatan hamba, hamba tak
  berdaya ya Tuhan ku. Ampuni hamba ya Allah.

Kejadin itu terus berulang-ulang terjadi, setiap kali selesai melakuan perbuatan bejatnya Habib selalu memberi uang Real kepada Aminah. Sudah banyak uang Real yang terkumpul di kamarnya melebihi gaji selama setahun. Sementara itu, sudah tiga bulan ia bekerja belum juga menerima gaji hasil dari kerjanya, untuk di kirimkan ke kampung. Suatu pagi Aminah di rumah sendiri ia telah menyelasaikan semua tugasnya. Dan ia pun mengerjakan shalat dhuha di kamarnya.

Aminah       : (duduk di atas sajadah berdzikir dan berdo’a) ya Allah,
  kuatkan hati hamba menjalani semua ini. Ini semua hamba
  lakukan untuk kelurga kecil hamba, suami dan si kecil Aisah.
  Walau hamba tak tega meninggalkan mereka tapi ini untuk
  kebaikan kami (Aminah mengambil uang yang di berikan oleh
  majikannya itu) apa uang ini yang harus aku kirimkan ke
  kampung untuk suami dan anakku? Tidak! Tidak! Tidak!
  (berteriak dan merobek uang-uang itu).
Habib          : (masuk tanpa permisi dan langsung mendekap Aminah dari
                     belakang) tenang tidak ada siapa-siapa di sini. Kamu harus
  melayani saya!
Aminah       : (teriak dan meronta, ia berlari mengambil gunting yang ada di
  atas meja dan menodongkan gunting itu) jangan mendekat
  tuan! Saya bukan budak yang dapat tuan perlakukan
  seenaknya.
Habib          : (tidak mengerti dan tidak memperdulikan apa yang di
  ucapkan aminah, mendekap aminah)
Aminah       : (menusukkan gunting ke perut majikannya sambil mengucap
  asmah Allah) Allahu Akbar!
Habib          : (tubuhnya terjatuh ke lantai).
Aminah       : (gugup dan menangis melihat majikannya sudah tak
  bernyawa) ya Allah, apa yang telah hamba lakukan??? Tidak!
  Tidak! Tidak!
Afifah          : (terkejut melihat suaminya tergeletak tak bernyawa, tanpa
  basa-basi ia langsung menyiksa Aminah).
Aminah       : ampun Umi, saya tidak bersalah. Saya hanya membela diri
tuan ingin memperkosa saya. Ini telah ia lakuakn untuk kesekian kalinya umi. Saya tiadak sanggup terus-terusan diperlakukan seperti itu Umi.. ampun Umi! Saya tidak bersalah.
Afifah          : (sangat marah dan terus memukuli Aminah) pembunuh! Kau
  telah membunuh suamiku. Ini pantas untuk mu!
Aminah       : (memohon) tidak Umi, saya berbicara benar. Saya hanya
  membela diri.
Afifah          : (terus memukuli Aminah)

Aminah di jebloskan ke penjara...
Sesuai dengan hukum yang berlaku di Arab nyawa di bayar nyawa. Dengan segala upaya dan daya Aminah menjelaskan semua yang sebenarnya terjadi. Namun apalah daya seorang yang tidak punya wewenag dan uang untuk membayar pengacara sebagai pembela atas kasusnya. Ia juga tidak mengerti bahasa Arab sehingga apa yang ia katakan di pengadilan tidak seorangpun yang paham akhirnya hukuman mati di jatuhkan untuk nya. Ia mendekam di penjara menanti ajalnya, ia akan di hukum mati. Algojo telah siap untuk memenggal lehernya memeisahkan kepala dari badannya. Namun Aminah tidak patah semangat ia tetap berharap pertolongan Tuhan untuk menyelamatkan agar ia dapat berkumpul lagi dengan keluarga kecilnya yakni suami dan si kecil Aisah.

Aminah       : (duduk di sudut ruang jeruji besi sambil berdzikir)

Terdengar suara pintu terbuka, berdiri seorang wanita di pintu itu.

Aminah       : (perlahan mengangkat kepala melihat ke arah pintu dan
  menundukkannya kembali) aku tahu kedatangan kamu ingin
  menyalahkan saya juga kan? Tak ada yang percaya, semua
  mengira saya berbohong. Saya berkata jujur! Saya hanya
  membela diri. Kenapa tidak ada yang percaya dengan orang
  miskin? Orang-orang lebih percaya dengan orang yang
  mempunyai kedudukan dan punya uang. Kenapa? Kenapa?
Julaika       : (mendekati Aminah) tenang Aminah, tenang! saya Julaika.
  Saya Wartawan indonesia yang kebetulan bertugas di sini.
Aminah       : (mengangkat kepalanya) dari mana kamu tau nama saya?
Julaika       : saya melihat persidangan kamu, ma’af Aminah ini di negeri
  orang saya tidak bisa membantu banyak teralalu sulit
  urusannya. Tapi kamu tenang saja Aminah. Saya akan
  kabarkan ini pada keluargamu dan pemerintah indonesia. Ya,
  walaupun nyawamu tidak terselamatkan tapi setidaknya
  pemerintah Indonesia sadar bahwa banyak pahlawan devisa
  yang butuhperhatian dan  hukum di negeri orang ini.
Aminah       : (senang) benarkah Julaika? Hanya satu permintaanku, Tolong
  sampaikan ma’af untuk suamiku, aku tak menjaga
  kehormatan yangtelah di percayainya. Lelaki bejat itu telah
  telah menghancurkan  semua harapan kami. Dan tolong
  sampaikan kepada si kecil anakkuAisah, aku sangat sayang
  padanya. Dia harus bersekolah, jangan sampai dia menjadi
  TKW seperti ku. Dia harus menjadi anak yang pintar.
Julaika       : (memeluk Aminah dan menangis) ya... ya Aminah! Saya akan
  katakan itu semua. Saya akan ceritakan apa yang sebenranya
  terjadi pada semua orang. Allah akan berikan tempat tertinggi
  untuk mu Aminah, yakinlah walau di dunia ini kalian terpisah
  oleh ruang dan waktu Allah telah sediakan tempat untuk
  kalian kelak.

Algojo datang dan menarik paksa Aminah, waktunya telah tiba aminah akan dieksekusi mati. Ia harus relakan ajalnya tuhan telah menakdirkan kematiannya dengan keadaan yang menyedihkan jauh dari keluarga dan kepala nya harus terpisah dari tubuhnya.

Aminah       : buktikan pada dunia julaika! Bahwa aku tidak bersalah, aku
  puas telah membunuh pemerkosa itu. Aku iklas menerima  
  takdir ini.Dan aku percaya Allah akan berikan yang lebih baik 
  dari kehidupan dunia ini. Sampaikan salam dan ma’af ku
  untuk keluaraga kecilku suami dan anakku  sampaikan pada
  mereka aku sangat mencintai mereka.


Akhirnya, Aminah pun dieksekusi mati. Kepalanya dipenggal, tak terwujud impian pahlawan devisa ini untuk membangun rumahnya menjadi istana, menyekolahkan anaknya dan menebus sawah yang telah tergadai semua harapannya telah sirna. Tapi setidaknya Aminah telah mebuka mata dunia betapa pentingnya perlindungan untuk para TKW yang bekerja di Negeri orang. Aminah telah menjalani takdirnya dalam sebuah kepedihan dan semoga ia mendapat tempat yang layak di akhirat dengan ketulasan dan keiklasan yang dimilikinya.

Sekian